Mitos tentang Waduk Cacaban, dari Jaman Belanda, Soekarno, hingga Sekarang

waduk cababan

Tempat wisata memang punya sejarahnya sendiri. Apalagi kalau tempat wisata itu berupa objek alam dan sudah berumur. Nah objek wisata yang semacam itu biasanya tak lepas dari cerita-cerita mistis, baik tentang sosok “penunggu”nya maupun awal mula terbentuknya objek wisata tersebut.

Kali ini, saya akan buat kalian penasaran tentang mitos-mitos yang tersebar tentang waduk Cacaban, waduk yang terletak di kabupaten Tegal, tepatnya di desa Penujah, kecamatan Kedung Banteng. Waduk ini sudah dicanangkan sejak jaman Belanda, loh. Tepatnya tahun 1914, kemudian setelah Indonesia merdeka, diresmikan oleh Presiden Sukarno. Tentang peresmian yang dilakukan Pak Sukarno itu, ada cerita menarik dibaliknya. Apa itu? Simak baik-baik uraian nomor satu yah.

1. Cungkir Emas

Waduk Cacaban ini sebenarnya rancangan dan pembangunannya sudah dilakukan sejak jaman Belanda. Namun saat mereka, orang-orang Belanda, berusaha membangun waduk itu, waduk tersebut selalu longsor hingga akhirnya Belanda minggat dan kemudian waduk itu dibangun lagi di masa pemerintahan Sukarno. Saat waduk itu dibangun kembali oleh Sukarno tahun 1952, konon presiden pertama kita itu menancapkan cungkir emas di waduk tersebut. Hal ini dilakukan supaya waduk itu tidak longsor seperti saat di jaman Belanda. Entah benar atau tidak, tapi sampai sekarang waduk itu tak pernah longsor.

Nah masyarakat sekitar percaya bahwa jika cungkir itu diambil, waduknya pasti akan mengalami longsor lagi.

2. Mbah Santi, Mbah Brahma Sumandara, dan tumbal

Waduk Cacaban ini dulunya berfungsi sebagai sumber air bagi warga sekitar guna mengairi sawah mereka. Hingga seiring berjalannya waktu, waduk ini dijadikan objek wisata. Nah sebelum tahun 2002, ada sejumlah orang yang sengaja memaksa masuk ke waduk tersebut dan enggan membayar biaya retribusi. Nahasnya, orang-orang tersebut berakhir meninggal dunia di sana. Yang menarik adalah, sebelum kejadian itu juru kunci waduk Cacaban mengaku bermimpi bahwa nanti ada tiga orang yang akan mati di waduk tersebut. 

Mau tak mau sang juru kunci melakukan ritual. Beliau mengatakan bahwa waduk itu dihuni makhluk gaib bernama Mbah Santi, dan Mbah Brahma Sumandara. Nah Mbah Brahma Sumandara inilah yang dipercaya sebagai sosok yang meminta tumbal. Sementara Mbah Santi ini hanya menyampaikan keinginan Mbah Sumandara kepada si juru kunci lewat mimpi. 

Dalam ritual tersebut si juru kunci waduk melakukan negoisasi dengan si “penunggu” waduk supaya tidak mengambil nyawa manusia lagi. Terjadilah kesepakatan, yang mana kesepakatan ini akan menjadi tradisi warga Kedungbanteng sampai sekarang. Kesepakatan itu berupa pelarungan sepotong kepala kerbau yang kemudian ditenggelamkan di tengah waduk. Ritual ini dilakukan setiap tahun, sebagai pengganti supaya “penghuni” waduk tidak lagi memakan korban manusia.

3. Memancing ikan dengan ikan hasil tangkapan

Waduk Cacaban ini tempat asyik buat mancing. Tapi ada satu cerita yang bisa bikin bergidik tentang pengalaman mancing di waduk ini. Salah satu warga sekitar, bernama Abidin, bercerita tentang pengalamannya memancing ikan mujair di sana. Seperti biasa, dia memancing dari pagi, sekitar jam 10-an. Tapi sampai jam 2 siang, mata kailnya hanya sanggup menangkap dua ikan. Dia pun istirahat. Dan sambil menyantap bekalnya, dia berpikir menjadikan ikan hasil buruannya sebagai umpan. Dicacahnya lah ikan mujair hasil pancingannya itu kecil-kecil. 

Setelah siap semuanya, ia lemparkan pancing yang berumpan ikan mujair tadi. Namun sesaat setelah umpan itu masuk ke dalam air, nampak gelombang ombak besar mengarah ke tempat Abidin. setelah dekat, barulah Abidin menyadari bahwa yang nampak seperti ombak besar itu ternyata kumpulan ribuan ikan mujair yang ada di waduk. Sadarlah ia akan kesalahannya, dan ia pun langsung membuang potongan ikan mujair yang tadinya akan dijadikan umpan.

Ada juga cerita pemancing lain berkenaan dengan pengalamannya memancing di waduk Cacaban ini. Cerita itu mengenai keberadaan ular sebesar pohon kelapa. Kesaksian akan adanya ular itu tidak hanya datang dari satu dua orang. Memang beberapa bagian di waduk tersebut ada banyak ularnya, tapi itu ular ular kecil yang bisa dianggap tidak mengganggu para pemancing. Pun yang sebesar pohon kelapa itu juga tak menyakiti, paling paling cuma menampakkan diri. Namun para petani sekitar waduk Cacaban ini selalu berpesan kepada para pemancing agar bersikap sopan, jangan melakukan tindakan yang tercela.

Belum ada Komentar untuk "Mitos tentang Waduk Cacaban, dari Jaman Belanda, Soekarno, hingga Sekarang"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel